Tertekan Beban yang Biasa Dipukul

14 Januari 2024, 13:05 WIB
Lima Wartawan Asal Lampung Barat yang mengikuti UKW PWI bekerjasama dengan Kementerian BUMN /Foto: ist/Waktu Lampung Online

Oleh: Merli Sentosa

Sore itu, Senin, 8 Januari 2024, langit begitu gelap. Saya dan tiga rekan beranjak sekitar pukul 17.00 WIB dari Kotabesi, Kecamatan Batubrak, Kabupaten Lampung Barat.

Kendaraan roda empat berwarna putih yang kami tumpangi mulai beringsut. Wajah sang sopir, Anton Suryadi dan dua penumpang di kursi tengah, Veri Partawijaya dan Erwan Nur, tampak berupaya menunjukkan raut gembira.

Mungkin yang berkecamuk di dalam hati dan pikiran saya tak jauh dari yang mereka pikul saat itu.

Saya juga yakin betul, hal yang sama tengah bermain di dalam batin rekan kami yang lebih dahulu meninggalkan Bumi Beguai Jejama menggunakan sepeda motor, Ronaldo Saputra.

Saya bisa merasakan energi kekhawatiran mereka, karena memang itu pula yang tengah mendera diri saya.

Saya membayangkan jika hasil dua hari mendatang bertolakbelakang dengan keinginan.

Jujur, saya berkeinginan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, pengalaman, dan perilaku saya dalam menjalankan profesi yang saya tekuni sejak 2009 silam itu diakui negara. Saya yakin keinginan ketiga rekan saya tak jauh berbeda.

Ya, kami memang satu tujuan: Mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat yang digelar gratis hasil kerjasama organisasi wartawan tertua dan terbesar di tanah air itu dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Jujur, program UKW gratis ini cukup membantu. Terlepas dari soal gratis atau tidak. Motivasi Kementerian BUMN dalam turut serta membentuk wartawan kompeten memang harus diakui adalah hal yang sangat luar biasa.

UKW itu digelar dua hari, Rabu-Kamis, 10-11 Januari 2024 di Hotel dan Resort Emersia, Kota Bandarlampung.

Kami memang beranjak dari tanah kelahiran lebih awal. Kami tak ingin terlambat. Semua agenda kami tekadkan diikuti, termasuk dua pra-UKW yang digelar PWI Lampung di lantai dua Balai Wartawan HI Sofian Akhmad di Kota Tapis Berseri itu dan PWI Pusat via zoom meeting.

Waktu shalat magrib telah tiba. Kami pun singgah di salah satu masjid yang cukup ikonik di Rest Area Sumberjaya. Di seberang jalan titik yang karib disebut puncak yang berdiri patung Muli Sebatin yang ada tulisan Bumi Sekala Brak.

Setelah menjalankan salah satu dari lima shalat yang diwajibkan agama Islam itu, kami beristirahat sejenak. Kopi robusta yang terkenal itu kami pesan. Kami sruput sembari membuka ponsel pintar.

Sesekali saya melirik ke arah ponsel Anton Suryadi. Emmm.. rupanya sama: Membuka Pedoman Pemberitaan Ramah Anak disingkat PPRA. Namun saya lihat dia hanya terus menggulir saja. Tak lama ditutupnya. Tampaknya tak ia baca dengan seksama.

Hal serupa kerap saya alami, ingin membaca lagi, tetapi pikiran tak karuan. Alhasil hanya discoll saja dan ditutup kembali.

Gundah-gulana rupanya, terlalu khawatir tidak lulus UKW. Sehingga membaca saja tidak fokus, alih-alih bercanda ria seperti biasa yang kami lakukan di bawah pohon rindang atau yang kerap kami sebut "DPR", di tengah Kompleks Pemkab Lampung Barat di Waymengaku sana.

Tak begitu lama, roda mobil yang kami tumpangi kembali menggilas aspal yang terdengar basah.

Perjalanan cukup terasa, aspal terlihat begitu hitam pekat. Sesekali memantulkan sinar dari pancaran bohlam mobil yang berlawanan arah, silau terasa di indera penglihatan. Maklum, hujan memang telah turun tak lama setelah kami beranjak.

Beberapa kali Anton Suryadi yang mengemudikan mobil buatan Jepang itu mengeluh. "Ampun! Dari hujan, gelap sekali, hitam semua aspal ini. Tak begitu terlihat jika ada lubang," katanya bergumam.

"Ampun alangkah silaunya," celetuknya saat berpapasan dengan kendaraan lain.

Malam itu kami tak banyak bercanda layaknya rekan yang telah puluhan tahun bersama menjalani profesi yang acap kali disebut kuli tinta tersebut. Meski ada, itu upaya untuk menepis rasa khawatir agar tak berlebih, khawatir tak lulus atau tak kompeten.

Singkatnya, kami tiba di Natar Lampung Selatan sekitar pukul 02.00 WIB, Selasa, 9 Januari 2024.

Kami singgah dan menunggu pagi di salah satu perumahan di sana. Ya, kami memang hanya menunggu pagi, sebab kami bertiga tak sekejap pun tidur. Hanya satu rekan kami yang terlihat sempat terlelap.

Selasa pagi, kami berangkat ke Balai Wartawan HI Sofian Akhmad. Setelah sempat bersalaman dan berbincang dengan rekan lain di lantai dasar, kami langsung menapaki anak tangga menuju lantai dua. Mengikuti agenda pra-UKW.

Singkatnya, setelah waktu shalat Dzuhur kami ke salah satu hotel. Rencananya kami ingin istirahat setelah mengikuti pra-UKW PWI Pusat melalui zoom meeting.

Maklum sejak kamarin sore, mata kami memang belum beristirahat dari tugasnya. Namun, lagi-lagi mata tak mau terpejam, alih-alih mendengkur dan bermimpi. Ini terjadi hingga tiba pagi berikutnya, Rabu, 10 Januari 2024.

Pagi itu kami yang masih berempat langsung mandi, mengenakan kemeja putih dengan paduan celana hitam yang diperintahkan itu. Lupa sarapan, langsung meluncur ke lokasi UKW digelar, Hotel Emersia.

Setelah registrasi, kami menunggu pembagian kelas. Tak lama, pembagian kelas dimulai, saya dan Anton satu kelas. Pengujinya Nizwar. Dia mantan Pemimpin Redaksi Radar Lampung. Penguji yang dikenal sangat idealis sepanjang karier wartawan hingga menjadi penguji UKW.

"Sedekat apapun anda dengan Nizwar jika anda nilai tidak mencapai standar kelulusan maka anda tak akan lulus," begitu penggalan kata yang saya dengar saat itu.

"Sama dengan penguji yang lain. Mereka seolah tak kenal anda. Mereka cukup cuek seolah tak pernah bertemu. Mereka penguji-penguji sangat profesional. Kalau gk lulus ya gak lulus. Gak ada tawar-menawar," ujar yang lain.

Hal itu juga rupanya diterima rekan saya, Anton Suryadi. "Kawan-kawan di sini tadi bilang para penguji ini sangat profesional. Begitu juga Bang Niz--sapaan karib Nizwar--kalau gak lulus ya gak lulus. Gak peduli sedekat apapun anda dengan mereka," ujar Anton.

Singkatnya, setelah semua mata uji kami kerjakan. Persisnya Kamis, 11 Januari 2024 siang, kami dipanggil satu per satu.

Saat giliran saya, Bang Niz dalam closing statementnya mengatakan, "Kami penguji punya beban moral ketika seseorang harus dikompetenkan. Kami punya tanggungjawab kepada yang bersangkutan, kepada masyarakat atau publik dan utamanya akan kami pertanggungjawabkan di hadapan kepada Tuhan Yang Maha Esa kelak."

Begitu kalimat yang tak akan saya lupakan dari sosok yang menjadi tauladan dan guru bagi saya.

Terimakasih Bang Niz, Terimakasih penguji, Terimakasih PWI, Terimakasih BUMN.***

Penulis adalah peserta UKW PWI-BUMN Angkatan ke-32 di Hotel Emersia, Bandar Lampung

Editor: Merli Sentosa

Tags

Terkini

Terpopuler