Letusan Gunung Ratu di Suoh Lampung Barat 1933 Guncang Liwa hingga Krui, Tercatat di Koran Berbahasa Belanda

17 April 2024, 21:20 WIB
Letusan Gunung Ratu di Suoh Lampung Barat 1933 Guncang Liwa hingga Krui, Kerusakan Dicatat Koran Berbahasa Belanda /istimewa/Waktu Lampung Online

WAKTU LAMPUNG - Letusan Gunung Ratu di Suoh, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung pada tahun 1933 mengakibatkan gempa bumi Liwa, Krui hingga Tanggamus.

Gempa bumi itu tercatat dan disajikan beberapa koran berbahasa Belanda. Berita di sejumlah koran itu diterjemahkan Cak Lun (Arsip: Arman AZ, Editor: Joen dan Lampongsche) dan diterima Waktu Lampung Online, Rabu, 17 April 2024 malam.

Disebutkan, gempa bumi terjadi sekitar 26 Juni 1933. Saat gempa itu terjadi Krui (Kini masuk Kabupaten Pesisir Barat), Liwa (Sekarang Kabupaten Lampung Barat) masih bagian dari Karesidenan Bengkulu, yakni Afdeeling Kroe (Saat ini setingkat kabupaten). Sementara Tanggamus saat itu masih dalam Karesidenan Lampung.

Kehancuran dampak gempa itu dicatat geolog Belanda, Ch E Stehn. Dia datang ke Suoh sekitar pertengahan Juli hingga awal Agustus 1933.

Ch E Stehn ditugaskan Pemerintah Hindia Belanda untuk meneliti petaka itu. Laporan lapangan Stehn tersebut lalu dikutip Newhall pada jurnal terbitan United States Geological Survey (USGS) edisi Historical Unrest at Large Calderas of the World, volume 1 tahun 1988.

Stehn menyebutkan, sekitar 13 jam setelah gempa, tanah-tanah di Suoh yang rekah mulai melontarkan air panas.

Fenomena geologi ini dikenal sebagai letusan freatik (phreatic eruption), yaitu letusan yang dipicu masuknya air ke kantong magma. Persentuhan air dan magma memicu munculnya uap panas yang segera menjebol sumbat, melontarkan debu, bebatuan, hingga air panas.

Lontaran material panas semakin meningkat hingga pada 10 Juli 1933 atau 14 hari setelah gempa terjadi letusan freatik besar di Suoh. Letusan membentuk dua kawah dan menghancurkan area dalam radius puluhan kilometer dari pusat letusan.

Letusan membentuk dua kawah, yang masing-masing sisi terpanjangnya 1 kilometer (Kam) dan 2Km. Tanah-tanah retak, mencipta lebih dari seratus lubang di jalur 5Km dengan lebar sebaran sekitar 1,5Km.

Gejolak tektonik diikuti letusan vulkanik di Suoh itu masih bisa dilihat jejaknya hingga sekarang dalam bentuk beberapa danau yang mengeluarkan air panas.

Berdasarkan sejumlah catatan, pertama: (Kroè half verwoest. —Vierhonhonderd dooden. BENKOELEN, 1 Juli) Gempa Bumi di Krui 1933.

Kemudian Catatan Koran Belanda, 1 Juli 1933 ″Algemeen Handelsblad” halaman 14, Krui separuhnya hancur, 1.800 rumah rusak, korban meninggal dunia 401 jiwa, dusun di lereng Pesagi hilang, waktu berita ini terbit 1 Juli 1933, belum ada kabar dari dusun di Lombok (Lumbok Seminung Lampung Barat kini).

Catatan kedua: Delftsche Courant (3 Juli 1933)
Korban gempa di Kroë 401 meninggal, 132 terluka dan 1.864 rumah hancur.

Hindia telegram berikut: Residen Benkoelen memberi sinyal 30 Juni.

''Telah tiba hari ini Kroë. Jumlah meninggal dunia sebagai berikut: Marga Soekau (Sukau) 35, Batoebrak (Batu Brak) 35, Kembahang 27, Liwa 171, Kenali 91, Soewoh (Suoh) 22, Poegoeng Malaja (Pugung Malaya), Poegoeng Penengahan 3, Goenoeng (Gunung) Kemala 3, Pedada 2, Wai Sindi 6, Chinese 5, total 401. Dikenal karena saat ini sedang mengalami cedera berat dan sedikit Marga Liwa 86, Kembahang 13, Way Sindi 23, Pasar Kroë 10."

"Rumah runtuh atau rusak yang tidak bisa dihuni: Marga Soekau 403, Batoebrak 250, Kembahang 92, Liwa 741, Kenali 124, Soewoh 42, Goenoeng Kemala 79, lainnya marga marga di pesisir 60, Pasar Kroë 73, termasuk hampir semua bangunan bata, rumah Letnan Belanda, Penjara, total 1.864.***

Editor: Merli Sentosa

Tags

Terkini

Terpopuler